Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Penyebab Pintarnya Anak Seorang Guru



Guru secara umum disebutkan kepada seseorang yang mengajar di sekolah atau madrasah. Panggilan Bapak Guru ataupun Ibu Guru disematkan kepada mereka yang berprofesi sebagai pendidik. Hal ini sejalur dengan pengertian guru dalam kbbi yang disebutkan dengan orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.

Penyebab Pintarnya Anak Seorang Guru

Dalam kejadiannya, guru banyak waktunya di madrasah untuk mengajar. Sehingga kadang waktu yang dimiliki untuk mengajari anaknya sendiri sangat terbatas, namun berbanding terbalik dengan kenyataan bahwa anaknya seorang guru lebih pintar dan lebih cerdas dari rata-rata teman seangkatannya. Padahal, logika dasar manusia mengatakan bahwa anaknya seorang guru lebih sedikit mendapatkan didikan dari orangtuanya langsung, bapak dan ibu guru tersebut lebih banyak mengajari anaknya orang lain dari pada anaknya sendiri.

Untuk menjawab fenomena ini, Syaikh az Zarnuji dalam kitabnya menuturkan bahwa anaknya seorang guru menjadi alim karena barokah bapaknya dalam beri'tikad baik dan kasih sayang terhadap murid-muridnya, sehingga dengan i'tikad baik dan kasih sayang seorang guru pada muridnyalah yang menjadikan Allah swt menganugerahkan pada keturunan guru tersebut kecerdasan dan kepintaran yang luar biasa.

ينبغى أن يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد، فالحسد يضر ولا ينفع. وكان أستاذنا شيخ الإسلام برهان الدين رحمه الله يقول: قالوا إن ابن المعلم يكون عالما لأن المعلم يريد أن يكون تلميذه فى القرآن عالما فببركة اعتقاده وشفقته يكون ابنه عالما.

Artinya : Orang alim hendaknya memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasehat serta jangan berbuat dengki. Dengki itu tidak akan bermanfaat, justru membahayakan diri sendiri. Guru kita Syaikhul Islam Burhanuddin ra. Berkata : “Banyak ulama yang berkata : “Putra sang guru dapat menjadi alim, karena sang guru itu selalu berharap agar muridnya kelak menjadi ulama ahli Al-Quran. Kemudian atas berkah i’tikad baik dan kasih sayangnya itulah putranya menjadi seorang alim.”

Ulama', Kiai, Habib, Ustadz

Selain nama guru disebutkan juga panggilan lain yang melekat pada orang-orang khusus, yaitu Ulama', Kiai, Habib, dan Ustadz. Berikut penjelasannya,

Siapa Ulama itu?

Secara bahasa, istilah ini berakar dari kata ‘ilmun atau ‘ilmu’ yang berarti ‘pengetahuan’. Orang yang memiliki pengetahuan disebut ‘aalim. Bentuk jamak dari ‘aalim adalah ‘ulamaa atau ulama.

Dengan pengertian secara bahasa ini, maka kita bisa sebut seorang pakar logika sebagai ‘aalim fi al-manthiqi, sedangkan para pakar biologi bisa kita sebut ulama juga. Jadi, ‘alim’ itu bukan sekedar julukan buat anak-anak kalem dan anggota ROHIS di sekolahnya. Namun kita juga punya makna secara istilah. Di dalam Islam, pengetahuan sejati adalah pengetahuan yang mengantarkan segenap kesadaran menuju ketundukan kepada Tuhan dan kemaslahatan terhadap sesama makhluk Tuhan. Dan ilmu tersebut adalah ilmu agama. Sehingga hanya orang yang berpengetahuan agamalah yang disebut sebagai ‘alim, jamaknya; ‘ulamaa.

Apalagi jika mengacu kepada berbagai teks-teks suci Islam, baik al-Qur’an maupun al-Hadits. Di sana tertulis ketat kriteria bagaimana ‘ulama itu. Di dalam ayat suci disebutkan bahwa ‘ulama adalah orang-orang yang begitu meresapnya ketundukan mereka terhadap Tuhan sehingga menumbuhkan rasa takut akan Ketidakrelaan-Nya. Sedangkan dalam redaksi hadits disampaikan bahwa ulama adalah pewaris para nabi, baik berupa warisan ilmu, sikap, etika, maupun wibawanya. Berat, bukan?

Salah seorang bintang dalam keilmuan Islam lampau, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, bahkan menuliskan diferensiasi antara ulama sejati dan ulama gadungan. Kriteria itu menyangkut kepakaran terhadap sumber-sumber hukum Islam, disiplin ritual, kedalaman spiritual, konsistensi terhadap pelaksanaan hukum, hingga karakter dan tingkah laku keseharian.

Siapa Kiai itu?

Nah, gelar ini khas Nusantara, khususnya Jawa. Satu kata ini berasal dari gabungan dua unsur kata, yakni ‘ki’ dan ‘yai’. Kata ‘ki’ adalah panggilan kepada laki-laki yang dihormati. Bagi wanita, kata ‘ki’ diganti dengan ‘nyi’. Sampai saat ini, sebutan ‘ki’ tetap melekat bagi orang-orang yang beraktivitas dalam kebudayaan Jawa. Baik dalam ranah fisik maupun spiritual.

Sedangkan ‘yai’ adalah gelar kehormatan bagi apapun yang dianggap memiliki kewaskitaan dan kewibawaan. Orang maupun benda. Sehingga benda-benda pusaka pun disebut ‘kiai’, semisal Kiai Guntur Madu dan Kiai Nogo Wilogo, sepasang set gamelan yang ditabuh saat Perayaan Sekaten di Yogyakarta. Atau sebutan bagi kerbau kehormatan di Surakarta, Kiai Slamet.

Kata ‘kiai’ ini memiliki sinonim dalam Bahasa Arab. Yakni syaikh. Secara terminologi, arti kata syaikh adalah man balagha rutbatal fadli, yaitu orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan. Yakni  berpengetahuan agama dan mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri serta mengajarkan kepada murid-muridnya.

Penyebutan ‘kiai’ ini berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau propaganda media massa. Orang yang sudah melampaui usia sepuh pun disebut syaikh, dan anak muda yang berpengetahuan agama luas serta mulia budinya juga disapa dengan sebutan syaikh.

Intinya, sebutan ‘kiai’ disematkan bagi orang-orang yang waskita, khususnya mereka yang berpengetahuan agama dan membimbing masyarakat, baik di lingkungan pesantren atau bukan. Istilah-istilah di daerah lain yang sepadan dengan ‘kiai’ adalah; ‘ra’, ‘aang’, ‘ajengan’, ‘anre’, dan ‘buya’.

Dalam suatu kesempatan di Pesantren Krapyak Yogyakarta, Gus Mus (KH Mustofa Bisri, Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menawarkan satu pengertian ‘kiai’ yang –menurut saya- sangat relevan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Apa itu? Beliau mengatakan bahwa ‘kiai’ adalah; humu al-ladziina yandzuruuna al-ummata bi ‘ayni ar-rahmati, yakni mereka –siapapun- yang memandang segala sisi kehidupan umat dengan pandangan rahmat, kasih sayang. Bukan pandangan kebencian, kebengisan, apalagi kekeji-kejaman.

Oh iya, ‘gus’ adalah sapaan khas para warga pesantren terhadap anak laki-laki seorang kiai. bila perempuan, disebut ‘ning’. Kawan-kawan santri berpendapat bahwa ‘gus’ berasal dari ‘bagus’ karena rata-rata putra kiai berwajah bagus atau ganteng. Sedangkan rata-rata putri kiai ‘bening-bening’ sehingga disebut ‘ning’. Ah, itu kelakar saja.

Siapa Habib itu?

Arti harfiahnya adalah ‘orang yang mencintai’ alias ‘kekasih’. Berakar dari kata hubb yang berarti ‘cinta’. Semakna dengan kata muhibb alias ‘pencinta’, jamaknya muhibbuun. Sedangkan orang yang dicintai disebut mahbuub.

Istilah habiib ini, secara sosial, lazim disematkan bagi mereka yang memiliki jalur keturunan (nasab) ke ‘Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra putri Baginda Nabi Muhammad. Istilah sosial sebagai keturunan Rasulullah ini sepadan dengan gelar syarif (orang yang mulia, feminimnya syarifah) dan sayyid (tuan, feminimnya sayyidah).

Umumnya disematkan pula marga di belakang nama para habib ini, seperti Basyaiban, Baraqbah, Al-Aydrus, Al-Haddad, Al-Attas, As-Segaf dan sebagainya. Atas makna inilah para habib (jamaknya; habaib) memiliki posisi yang terhormat di kalangan umat Islam sejak dahulu kala. Bukan hanya sebab nasab, tetapi juga karena kiprah dakwah mereka dalam penyebaran Islam di penjuru dunia termasuk Indonesia, sebagaimana dituturkan oleh Buya Hamka.

Salah seorang kawan saya yang berasal dari kalangan hababib bermarga al-Haddad pernah mengatakan bahwa orang yang tidak berpengetahuan agama dan tidak berpekerti luhur tidak pantas dipanggil habib meskipun memiliki nasab dari Rasulullah. Cukup dipanggil ‘Yik’ (singkatan dari sayyid) saja, katanya.

Adapun keterpeliharaan garis keturunan mereka dicatat dengan rapi oleh lembaga-lembaga pencatat nasab (naqib) yang ada di masing-masing wilayah. Di Indonesia sendiri, lembaga ini bernama Maktab Daimi yang bernaung di bawah payung organisasi Rabithah ‘Alawiyyah. 

Jadi, kalau mau memeriksa nasabmu, jangan-jangan masih keturunan Rasulullah, datang saja kesana! Hehe.

Siapa Ustadz itu?

Kata ini jelas berasal dari Bahasa Persia yang diserap oleh Bahasa Arab. Artinya ‘pengajar’, atau ‘orang yang menguasai suatu bidang tertentu dan mengajarkannya’. Jamaknya, asatidz.

Nah, dalam kerangka sosial budaya di Timur Tengah, Mesir misalnya, gelar ustadz disematkan kepada mereka yang sudah menduduki level tinggi dalam tingkat kepengajaran di universitas atau al-jami’ah. Setaraf ‘professor’, jadi kalau ada gelar al-ustadz al-duktur khliwan ibnu fahin, itu sama artinya dengan ‘Prof. Dr. Kliwon bin Paing’. Keren, kan?

Menurut pengertian ini, maka seseorang belum pantas disebut ustadz kecuali bila sudah menguasai 18 atau 12 cabang ilmu seperti nahwu, shorof, bayan, badi', ma'ani, adab, mantiq, kalam, akhlaq, ushul fiqih, tafsir, dan hadits.

Penjelasan empat istilah ini, penulis ambil dari website nu online.

Semoga bermanfaat.

Posting Komentar untuk "Penyebab Pintarnya Anak Seorang Guru"