3 Anak Musuh Nabi Muhammad Yang Membela Islam
Dalam sejarah peradaban Islam, mulai lahirnya Nabi Muhammad hingga beliau wafat banyak peristiwa yang dapat dikenang dan diterapkan hingga saat ini. Diantara sifat Nabi ialah sangat pemaaf terhadap musuh dan penghalang dakwah, dengan harapan munculnya generasi Islam Nabi Muhammad menolak saat ditanya oleh malakul jibal dalam peristiwa di Thoif.
Harapan dan contoh teladan nabi dapat dilihat dari sejarah 3 Anak Musuh Nabi Muhammad Yang Membelas Islam. Ketiganya ialah Ikrimah putra Abu Jahal, Khalid bin Walid dan Abdullah bin Abdullah bin Ubay. Berikut biografi singkat ketiga tokoh tersebut sebagaimana dilansir dari web Biografi Tokoh Ternama dan Bewara Mulia,
3 Anak Musuh Nabi Muhammad Yang Membela Islam
1. Ikrimah bin Abu Jahal
Ikrimah bin Abu Jahal adalah Sahabat Nabi Muhammad yang juga anak dari Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam. Ia adalah salah satu dari pemimpin Quraisy ketika terjadi Pembebasan Mekkah. Beliau memeluk agama Islam setelah pembebasan Mekkah pada tahun 630 M.
Ikrimah adalah putra dari Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam. Abu
Jahal adalah Fir’aun di zamannya. Ia hidup di Makkah sebagai musuh Allah dan
Rasul-Nya. Ia selalu berusaha membunuh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ia melihat sejumlah ayat (tanda kekuasaan) Allah dan sejumlah mukjizat,
tetapi mata hatinya telah lebih dulu buta sebelum mata kepalanya. Karenanya, ia
pun menjadi seperti setan yang sangat pembangkang.
Ikrimah dikenal sebagai pemuda Quraisy yang gagah berani
dan sebagai penunggang kuda yang sangat mahir dalam peperangan. Ia memusuhi
Rasulullah hanya karena didorong oleh sikap kepemimpinan bapaknya yang sangat
keras memusuhi Rasulullah. Karena itu, ia turut memusuhi beliau lebih keras dan
menganiaya para shahabat lebih keras, kejam, dan bengis, untuk menyenangkan
hati ayahnya.
Sejak kematian ayahnya dalam Perang Badar, pandangan sikap
Ikrimah terhadap kaum Muslimin berubah. Kalau dulu ia memusuhi kaum Muslimin
lantaran untuk menyenangkan hati ayahnya, maka sekarang ia memusuhi Rasulullah
dan para shahabatnya karena dendam atas kematian ayahnya. Dan dendam itu ia
lampiaskan dalam Perang Uhud.
Ketika Perang Khandaq meletus, kaum Musyrikin Quraisy
mengepung kota Madinah selama berhari-hari. Ikrimah bin Abu Jahl tak sabar
dengan pengepungan yang membosankan itu. Lalu ia nekad menyerbu benteng kaum
Muslimin. Usahanya sia-sia, bahkan merugikannya hingga ia lari terbirit-birit
di bawah hujan panah kaum Muslimin.
Ketika Fathu Makkah (penaklukan kota Mekkah), kaum Quraisy memutuskan tidak akan menghalangi Rasulullah dan para shahabatnya masuk kota Mekkah. Tapi Ikrimah dan beberapa orang pengikutnya tak mengindahkan keputusan itu. Mereka menyerang pasukan besar kaum Muslimin. Namun, serangan itu dapat dipatahkan oleh Panglima Khalid bin Walid. Ikrimah melarikan diri ke Yaman lantaran takut dihukum mati oleh Rasulullah.
Ikrimah bin Abu Jahal Masuk Islam
Pada saat itu istrinya yang bernama Ummu Hakim masuk
Islam dan meminta perlindungan dan keamanan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk Ikrimah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepadanya: “Dia aman”. Maka Ummu Hakim pun berangkat menyusul Ikrimah.
Setelah bertemu dengan Ikrimah di tempat pengasingannya, Ummu Hakim membujuk
suaminya agar mau kembali ke Mekkah. Ummu Hakim juga mengabarkan bahwa
Rasulullah telah mengampuni dan memaafkannya.
Ketika Ikrimah dan istrinya hampir tiba di kota Mekkah,
Rasulullah berkata kepada para shahabatnya, “Ikrimah bin Abu Jahl akan datang
ke tengah-tengah anda sebagai Mukmin dan Muhajir. Karena itu, janganlah anda
memaki ayahnya. Sebab memaki orang yang sudah meninggal berarti menyakiti orang
yang hidup, padahal makian itu tidak terdengar oleh orang yang sudah
meninggal.”
Ketika Ikrimah dan istrinya memasuki majelis Rasulullah ,
beliau menyambutnya dengan sangat gembira. Ketika Rasulullah duduk kembali,
Ikrimah duduk pula di hadapan beliau dan mengucapkan dua kalimat syahadat
sebagai tanda ke-Islamannya. Setelah itu, Ikrimah memohon kepada Rasulullah
untuk mendoakannya agar Allah mengampuni dosa-dosa dan kesalahannya yang telah
lalu. Rasulullah pun memenuhi permintaan Ikrimah itu.
Maka wajah Ikrimah pun berseri-seri. Kemudian ia berkata,
“Demi Allah, ya Rasulullah! Tak satu sen pun dana yang telah saya keluarkan
untuk memberantas agama Allah di masa lalu, melainkan mulai saat ini akan saya
tebus dengan mengorbankan hartaku berlipat ganda untuk menegakkan agama Allah.
Dan tak seorang pun kaum Muslimin yang telah gugur di tanganku, melainkan akan
kutebus dengan membunuh kaum musyrikin berlipat ganda, demi untuk menegakkan
agama Allah.”
Syahidnya Ikrimah bin Abu Jahal
Pada saat perang Yarmuk meletus dengan hebatnya dan
pasukan Romawi hampir mengalahkan pasukan Islam, maka singa buas Ikrimah pun
bangkit dan berkata: “Minggirlah, wahai Khalid bin Walid, biarkan aku menebus
apa yang telah aku dan ayahku lakukan. Dulu aku memusuhi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apakah sekarang aku akan lari dari pasukan Romawi ? Demi
Allah tidak, selamanya tidak akan terjadi !”
Ikrimah berteriak: “Siapa yang akan membaiatku untuk mati
? “
Pamannya Harits bin Hisyam, dan juga Dhirar bin Al-Azwar berdiri
untuk membaiatnya. Ikut bersama mereka 400 pasukan muslim. Mereka memasuki
arena peperangan hingga mereka dapat mengalahkan pasukan Romawi, dan Allah pun
memberikan kemenangan dan kemuliaan bagi pasukan-Nya.
Perang pun selesai. Ikrimah tergeletak terkena 70 tikaman
di dadanya, sedang disampingnya adalah Al-Harits bin Hisyam dan Ayyasy bin Abi
Rabi’ah. Al-Harits memanggil-manggil meminta air namun ia melihat Ikrimah
sangat kehausan maka ia berkata: “Berikanlah air kepada Ikrimah.” Ikrimah
melihat Ayyasy bin Abi Rabi’ah juga sangat kehausan, lalu ia berkata:
“Berikanlah air kepada Ayyasy.” Ketika air hampir diberikan, Ayyasy sudah tidak
bernyawa. Para pemberi air dengan cepat menuju Ikrimah dan Al-Harits, namun
keduanya pun sudah tiada untuk meminum air surga dan sungai-sungainya.
2. Khalid bin Walid
Khalid bin Walid radhiyallahu’anhu adalah seorang
panglima perang yang termahsyur dan ditakuti di medan perang, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam memberinya gelar "Saifullah" yakni pedang Allah
yang terhunus. Dia adalah salah satu dari panglima-panglima perang penting yang
tidak terkalahkan sepanjang kariernya. Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ini masuk Islam pada tahun kedelapan hijriyah dan telah terjun dalam
puluhan peperangan.
Khalid bin Walid adalah komando pasukan kaum muslimin
pada perang yang masyhur yaitu perang Yamamah dan Yarmuk, dan beliau telah
melintasi perbatasan negeri Iraq menuju ke Syam dalam lima malam bersama para
tentara yang mengikutinya. Inilah salah satu keajaiban komandan perang ini.
Kelahiran Khalid bin Walid
Khalid bin Walid dilahirkan kira-kira 17 tahun sebelum
masa pembangunan Islam. Dia anggota suku Banu Makhzum, suatu cabang dari suku
Quraisy. Ayahnya bernama Walid dan ibunya Lababah. Khalid termasuk di antara
keluarga Nabi yang sangat dekat. Maimunah binti Al-Harits radhiallahu ‘anhu,
bibi dari Khalid, adalah isteri Nabi. Dengan Umar sendiri pun Khalid ada
hubungan keluarga, yakni saudara sepupunya.
Khalid bin Walid Masuk Islam
Dahulu sebelum masuk Islam Nama Khalid bin Walid sangat
termashur sebagai panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy yang tak terkalahkan.
Begitu gagah dan perkasanya Khalid baik di Medan perang maupun ahli dalam
menyusun strategi perang.
Khalid bin Walid masuk islam setelah pertempuran Uhud
yang banyak merenggut para pejuang muslim. Dalam perang itu Khalid bin Walid
menjadi panglima Tentara Kaum Kafir Quraisy. Ia masuk islam setelah mendengar
lantunan ayat suci Al Qur'an surat al hujarat ( Qs 49:13 ) yang dibacakan oleh
Bilal, seorang budak hitam dan buta hurup. Setelah itu, Nabi memberi gelar
kepadanya dengan nama “Syaifulloh yang artinya “pedang Alloh yang terhunus.
Setelah bergabungnya Khalid bin walid kedalam Islam, bertambah kuatlah pasukan
Muslim hingga bisa menaklukan kota Mekkah dan Pasukan Kafir Quraiy.
Peran Khalid bin Walid dalam Pera' Mu'tah
Saat terjadi pertempuran Mu'tah. jumlah tentara kaum muslimin pada saat itu sekitar tiga ribu personil sementara bangsa Romawi memilki dua ratus ribu personil, melihat tidak adanya keseimbangan jumlah tentara kaum muslimin di banding musuh mereka, terkuaklah sikap kesatria dan kepahlawanan kaum muslimin pada peperangan ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan agar pasukan dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, dan jika dia terbunuh maka kepeminpinan berpindah kepada Ja’far bin Abi Thalib, dan jika terbunuh maka kepeminpinan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah.
Semua pemimpin di atas mati syahid pada peperangan ini, lalu bendera diambil alih oleh Tsabit bin Aqrom, dan dia berkata kepada kaum muslimin: Pilihlah seorang lelaki sebagai pemimpin kalian, maka mereka memilih Khalid bin Walid, maka pada peristiwa inilah tampak jelas keberanian dan kejeniusannya. Dia kembali mengatur para pasukan, maka dia merubah strategi dengan menjadikan pasukan sayap kanan berpindah ke sayap kiri dan sebaliknya pasukan sayap kiri berpindah ke sebelah kanan, kemudian sebagian pasukan diposisikan agak mundur, setelah beberapa saat mereka datang seakan pasukan batuan yang baru datang, hal ini guna melemahkan semangat berperang musuh kemudian kesatuan tentara kaum muslimin terlihat menjadi besar atas pasukan kaum Romawi sehingga menyebabkan mereka mundur dan semangat mereka melemah. Pada perang Mu'tah, hanya beberapa kaumm muslimin yang menjadi korban, sedangkan di pihak kaum kafir banyak sekali.
Khalid juga ikut serta dalam peperangan melawan kaum yang
murtad, beliau juga ikut berperang menuju Iraq, dan para ulama berbeda pendapat
tentang sebab dipecatnya Khalid sebagai
komando perang di Syam, dan semoga yang benar adalah apa yang dikatakan oleh
Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu: Tidak, aku akan memecat Khalid sehingga
masyarakat mengetahui bahwa sesungguhnya Allah membela agamanya tidak dengan
Khalid.
Di antara ungkapannya yang agung adalah tidaklah sebuah
malam di mana aku bersama seorang pengantin yang aku cintai lebih aku sukai
dari sebuah malam yang dingin lagi bersalju dalam sebuah pasukan kaum muhajirin
guna menyerang musuh.
Dia pernah menulis sebuah surat kepada kaisar Persia yang
mengatakan, “Sungguh aku telah telah datang kepada kalian dengan pasukan yang
lebih mencintai kematian sebagaimana orang-orang Persia menyenangi minum
khamr.”
Qais bin Hazim berkata,
“Aku telah mendengar Khalid berkata, ‘Berjihad telah menghalangiku
mempelajari Al-Qur’anul Karim.’”
Khalid bin Walid Wafat
Meski Beliau sering aktif dalam banyak peperangan menegakkan agama Allah, namun ia tidak gugur
dalam pertempuran.
Abu Zannad berkata, “Pada saat Khalid akan meninggal
dunia dia menangis dan berkata, ‘Aku telah mengikuti perang ini dan perang ini
bersama pasukan, dan tidak ada satu jengkalpun dari bagian tubuhku kecuali
padanya terdapat bekas pukulan pedang atau lemparan panah atau tikaman tombak
dan sekarang aku mati di atas ranjangku terjelembab sebagaimana matinya seekor
unta. Janganlah mata ini terpejam seperti mata para pengecut. ‘“
Dari Sahl bin Abi Umamah bin Hanif dari bapaknya dari
kakeknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang
meminta kepada Allah mati syahid dengan sebenarnya maka Allah akan
menyampaikannya kepada derajat orang-orang yang mati syahid sekalipun dirinya
mati di atas ranjangnya.”
Lalu pada saat wafat, dia tidak meninggalkan kecuali
kuda, senjata dan budaknya yang dijadikannya sebagai sedekah dijalan Allah,
pada saat berita kematian tersebut sampai kepada Amirul Mu’minin, Umar bin
Al-Kattab dia berkata, “Semoga Allah meberikan rahmatnya kepada Abu Sulaiman,
sesungguhnya dia seperti apa yang kami perkirakan.”
Dan disebutkan di
dalam hadits riwayat Umar bin Al-Khattab tentang zakat bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Adapun Khalid maka dia telah menyimpan baju
besinya dan perlengkapan berperangnya di jalan Allah.”
Abu Bakar adalah orang yang bijaksana. Ketika ia tidak
ridha dengan dilepaskannya Khalid bin Walid, ia berkata:
والله لا أشيم سيفا سله الله على عدوه حتى يكون
الله هو يشيمه
“Demi Allah, aku tidak akan menghunus pedang yang Allah
tujukan kepada musuhnya sampai Allah yang menghunusnya” (HR. Ahmad dan lainnya)
Khalid bin Walid wafat pada tahun 21 H. di Himsh pada
usia 52 tahun.
3. Putra Abdullah bin Ubay
Biografi Putra Abdullah bin Ubay
Awalnya beliau bernama Hubab, kemudian diganti oleh
Rasulullah saw menjadi Abdullah. Beliau saw bersabda “Hubab adalah nama
syaitan.” Beliau berasal dari kaum Anshar, kabilah Khazraj, ranting Banu Auf.
Beliau merupakan putra dari Abdullah bin Ubay bin Salul,
sehingga nama beliau menjadi Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul. Ibunda
beliau bernama Khaulah Binti Mundzir.
Ayah beliau, Abdullah bin Ubay bin Salul dikenal sebagi
pemimpin orang-orang munafik yang selalu membuat masalah. Ia menghina dan
berusaha akan membunuh Rasulullah dan mengganggu perjuangan Islam.
Sebelum Rasulullah saw dan kaum Mulimin hijrah, ia
berambisi menjadi raja di Madinah, namun dengan kedatangan Islam rencananya itu
menjadi gagal. Ia pun menjadi sakit hati karenanya, ia pura-pura beriman, namun
selalu berusaha untuk mencari cara untuk mencelakai Rasulullah saw.
Sementara itu putranya, Abdullah bin Abdullah bin Ubay
bin Salul adalah seorang Sahabat nabi yang mukhlis, setia dan sangat mencintai
Rasulullah saw. Beliau turut serta dalam Perang Badar, Uhud dan seluruh
peperangan lainnya bersama Rasulullah saw.
Beliau mengetahui baca tulis dan mendapatkan kehormatan
sebagai penulis wahyu. Hadhrat Aisyah meriwayatkan beberapa Hadits dari Hadhrat
Abdullah.
Peristiwa Keributan di Muraisi
Pada tahun 5 Hijriyyah sekembalinya dari perang Bani Mustaliq, untuk beberapa hari Rasulullah saw tinggal di Muraisi, nama sebuah sumber mata air milik Banu Mustaliq.
Ketika berada di tempat itu orang-orang munafik telah
menyebabkan satu kejadian yang tidak menyenangkan sehingga hampir saja terjadi
peperangan diantara umat Muslim yang lemah iman. Namun, kecekatan Rasululah saw
dalam memahami keadaan dan pengaruh daya tarik Rasulullah saw telah
menyelamatkan umat Muslim dari dampak kekacauan yang sangat berbahaya.
Kejadiannya sebagai berikut: Seorang pelayan Hadhrat Umar
bernama Jahjah bin Masud pergi ke Muraisi untuk mengambil air dari sumber mata
air. Kebetulan saat itu juga ada orang lain bernama Sinan bin Wabir Al-Juhaini,
pendukung Anshar yang datang untuk tujuan sama. Keduanya jahil (bodoh) dan sama
sekali awam. Kedua orang itu berselisih di tempat tersebut dan Jahjah memukul
Sinan. Sinan mulai berteriak keras mengatakan, ‘Wahai Anshar! Tolonglah saya,
saya telah dianiaya.’ Melihat itu, Jahjah pun mulai memanggil kaumnya, ‘Wahai
Muhajirin, datanglah kemari.’ Teriakan itu terdengar oleh kedua belah pihak
lalu kedua pihak berdatangan dengan membawa pedang, seketika itu juga
berkumpullah banyak orang di sana sehingga hampir saja para pemuda yang jahil
saling menyerang.
Tidak lama kemudian datang beberapa orang yang bijak dan
mukhlis dari antara Anshar dan Muhajirin ke tempat kejadian, mereka langsung
melerai kedua pihak yang berselisih dan mendamaikannya.
Ketika Rasulullah saw mengetahui kabar tersebut, beliau
menampakkan kemarahan dan bersabda, “Ini adalah sikap jahiliyah.” Masalah itu
pun selesai.
Kelancangan Abdullah bin Ubay
Ketika Abdullah bin Ubay bin Salul yang juga ikut serta
pada perang Banu Mustaliq, mengetahui kabar tersebut, ia ingin munculkan lagi
kekisruhan itu dengan menghasut kawan-kawannya supaya menentang Rasulullah saw,
ia mengatakan:
“Ini semua adalah kesalahan kalian karena kalian telah
memberikan perlindungan sehingga mereka semakin lancang. Kalian seharusnya
menarik dukungan dan bantuan kalian kepada mereka, maka dengan sendirinya umat
Muslim akan bercerai-berai meninggalkan Madinah.”
Pada akhirnya orang yang jahat itu mengatakan: “Jika kita
telah kembali ke Madinah maka orang-orang terhormat akan mengusir keluar mereka
yang hina.”
Kebetulan ketika Abdullah bin Ubay mengatakan kata-kata
penghinaan terhadap Rasulullah saw tersebut ada seorang anak laki laki Muslim
bernama Zaid bin Arqam yang mendengarnya. Zaid pun kemudian melaporkannya
kepada pamanya dan kemudian pamannya itu menyampaikan kepada Rasulullah saw.
Pada saat itu Hadhrat Umar tengah berada di dekat
Rasulullah saw. Setelah mendengar kabar tersebut, Hadhrat Umar begitu marahnya
lalu berkata kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasul! Izinkan saya untuk memenggal
leher orang munafik penyebar kekacauan itu.”
Beliau bersabda, “Biarkan saja. Apakah kamu menyukai jika
tersebar kabar kemana-mana bahwa Rasulullah saw memerintahkan untuk membunuh
kawan-kawannya.”
Kemudian Rasulullah saw memanggil Abdullah bin Ubay bin
Salul dan kawan-kawannya, beliau pun bertanya, “Apakah benar perihal kabar yang
saya dengar ini?”
Mereka semua bersumpah mengatakan bahwa mereka tidak
mengatakan hal seperti itu. Beberapa Anshar menyampaikan pendapatnya, “Mungkin
saja Zaid telah keliru.”
Pada saat itu Rasulullah saw menerima penjelasan yang
disampaikan Abdullah bin Ubay bin Salul dan kawan kawannya dan menolak laporan
Zaid yang karena itu Zaid sangat sedih.
Ternyata Allah menurunkan wahyu Al Quran yang membenarkan
perkataan Zaid dan mendustakan keterangan orang-orang munafik. Ucapan keji dari
Abdullah bin Ubay itu disebutkan dalam Al-Quran surat Al Munafiqun ayat 9-11:
لَئِنْ رَجَعْنَا
إِلَى الْمَدِينَةِ لَيُخْرِجَنَّ الْأَعَزُّ مِنْهَا الْأَذَلَّ
“Jika kita telah kembali ke Madinah maka orang-orang
terhormat akan mengusir keluar mereka yang hina.”
Abdullah bin Ubay bin Salul mulai melontarkan cemoohan
secara terang-terangan. Akan tetapi, Rasulullah saw tidak mengambil tindakan
tegas atas mereka. Melihat perlakuan lembut seperti itu, bukannya merasa malu,
justru mereka malah semakin menjadi-jadi dalam kelancangannya itu. Abdullah
Sendiri Ingin Menghukum Ayahnya
Setelah peristiwa itu, Rasulullah saw memerintahkan kaum
Muslimin untuk berangkat pulang ke Madinah.
Rasulullah saw biasanya tidak memerintahkan untuk
menempuh perjalanan pada siang hari karena cuaca siang yang sangat terik dan
akat sangat sulit untuk melakukan safar dalam keadaan demikian. Namun melihat
keadaan pada saat itu Rasulullah saw menganggap sesuai untuk melakukan
perjalanan di siang hari.
Pada kesempatan itu Usaid bin Hudhair seorang tokoh
terkenal kabilah Aus datang ke hadapan Rasulullah saw dan berkata, ‘Wahai
Rasulullah saw! Biasanya tuan tidak melakukan perjalanan pada waktu seperti
ini, apa gerangan yang terjadi sehingga menempuh perjalanan di siang hari?’
Rasul bersabda: ‘Usaid! Tidakkah kamu mendengar apa yang
diucapkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul? Ia mengatakan, “Kita pergi ke
Madinah, sesampainya di sana orang yang terhormat akan mengusir orang yang
terhina.”’
Usaid spontan berkata: “Memang wahai Rasulullah saw, jika
tuan berkenan, tuan dapat mengusir Abdullah dari Madinah, karena demi Tuhan!
Yang terhormat adalah tuan, bukan dia, dialah yang hina.”
Usaid bin Hudhair lalu berkata, “Wahai Rasul! Sebagaimana
tuan ketahui bahwa sebelum tuan datang dan tinggal di Madinah, Abdullah bin
Ubay bin Salul adalah orang yang sangat dihormati dalam kaumnya, kaumnya
mengusulkan untuk menjadikannya sebagai raja. Namun paska kedatangan tuan di
Madinah, upayanya menjadi sirna. Karena itulah dalam dirinya timbul kedengkian
kepada tuan. Tidak perlu menghiraukan omong kosongnya, mohon tuan maafkanlah
ia.”
Tidak lama kemudian Abdullah putra Abdullah bin Ubay,
datang ke hadapan Rasulullah saw dengan gelisah, beliau mengatakan”
“Wahai Rasulullah! Saya mendengar kabar bahwa tuan ingin
membunuh ayah saya disebabkan kelancangan dan kekisruhan yang ia timbulkan?
Jika memang benar itu keputusan tuan, mohon perintahkan saya lalu akan saya
penggal kepala ayah saya dan saya persembahkan di kaki tuan. Namun mohon tuan
jangan perintahkan orang lain untuk mengeksekusi ayah saya, karena saya
khawatir jangan sampai ada aliran darah jahiliyah yang mengalir pada saraf saya
sehingga saya dapat saja menimpakan kerugian kepada pembunuh ayah saya
nantinya, tadinya ingin mendapatkan keridhaan Allah Ta’ala malah masuk ke
Jahannam.”
Rasulullah saw menentramkan Hadhrat Abdullah dengan
bersabda, “Kami sama sekali tidak ada keinginan untuk melakukan itu, bahkan
kami ingin bersikap lembut dan baik kepada ayahmu.”
Namun, beliau sedemikian rupa menggebu-gebu menentang
ayahnya sehingga ketika pasukan Islam kembali ke Madinah, Abdullah bin Abdullah
bin Ubay menghentikan jalan ayahnya (Abdullah bin Ubay) dan berkata: “Demi
Tuhan! Saya tidak akan membiarkan kamu kembali sebelum kamu mau mengikrarkan
bahwa Rasulullah saw adalah terhormat (mulia) dan kamu hina.”
Abdullah bin Abdullah bin Ubay memaksa ayahnya
mengucapkannya sehingga akhirnya ia terpaksa mengucapkan kalimat tersebut.
Setelah itu beliau membiarkan ia pergi.
Abdullah berkata kepada Hadhrat Rasulullah saw: “Dialah
yang hina dan tuanlah yang terhormat.”
Tampak dari kisah ini bagaimana kelancangan Abdullah bin
Ubay bin Salul, di sisi lain terlihat bagaimana kecintaan dan kesetiaan
putranya kepada Rasulullah. Beliau tidak segan-segan menentang ayahnya sendiri
jika ayahnya itu menyerang kehormatan Islam dan Rasulullah saw.
Posting Komentar untuk "3 Anak Musuh Nabi Muhammad Yang Membela Islam"