Sumber Perbedaan Pendapat Batal Wudhu Sebab Bersentuhan Kulit
Perbedaan Pendapat Ulama 4 Madzhab tentang Persentuhan Kulit
Persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan merupakan khilafiyah perbedaan pendapat menurut 4 (empat) madzhab, perbedaan ini bukan untuk diperdebatkan apalagi dipertentangkan. Berikut pendapat ulama’ 4 (empat) mazhab tentang persentuhan kulit :
1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa persentuhan
kulit antara orang laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu secara
mutlaq, baik antar mahram maupun bukan mahram, baik dengan syahwat maupun tidak
dengan syahwat. Pendapat ini mendasari dari beberapa dalil berikut,
a. Dasar umum mengemukakan bahwa wudhu' tidak
batal kecuali bila ada dalil yang shahih dan jelas yang menyebutkan tentang
pembatalan wudhu’.
b. Hadits dari 'Aisyah yang menyebutkan bahwa
Rasulullah SAW tidak kembali berwudhu' setelah menyentuh 'Aisyah.
عَنْ
عَائِشَةَ، قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ، فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ
قَدَمَيْهِ، وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
Artinya : Dari
‘Aisyah, ia berkata, “Pada suatu malam, aku kehilangan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam dari kasurku. Maka aku pun mencarinya, lalu tanganku mendapati
bagian telapak kakinya yang sedang berada di dalam masjid, dan kedua telapak
kaki beliau dalam posisi tegak lurus (dalam posisi sujud).”
(HR. Muslim, No. 489).
وعن
عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم :كان يصلي وهي معترضة بينه وبين القبلة فإذا
أراد أن يسجد غمز رجلها, فقبضتها. رواه البخاري ومسلم.
Artinya : Dari Aisyah RA, sesungguhnya Nabi SAW melakukan salat. Sementara Aisyah tidur di antara beliau dan arah kiblat, apabila Nabi SAW hendak sujud beliau geser kaki Aisyah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Kemudian menggunakan dalil yang diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Al-Baihaqi:
عن
حبيب ابن أبي ثابت عن عروة عن عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم
قبل بعض نسائه ثم خرج إلى الصلاة ولم يتوضأ. رواه الترمذي وابن ماجه وداود
والبيهقي.
Artinya : Dari Hubaib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah RA. Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium istrinya kemudian keluar untuk salat dan tidak berwudhu lagi. (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud & Al-Baihaqi)
c. Makna أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ menurut mereka adalah
jima’, sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas r.a.
2. Mazhab Maliki berpendapat bahwa persentuhan kulit antara orang laki-laki dan perempuan dapat membatalkan wudhu’ apabila disertai dengan syahwat, baik sengaja atau tidak sengaja. Selain itu, termasuk juga membatalkan wudhu’ apabila bersentuhan kulit dengan yang belum baligh tetapi sudah dapat menimbulkan syahwat.
Dalil pendapat kedua ini ialah ayat 43 surah al-Nisa’ dan ayat 6 surah al-Maidah yang menyebutkan bahwa bersentuhan kulit termasuk hadats kecil yang mewajibkan wudhu’.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
Artinya : Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun. (QS. An Nisa', Ayat : 43)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur. (QS. Al Maidah, Ayat : 6).
Namun disebabkan terdapat hadits-hadits yang
menyatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersentuhan dengan ‘Aisyah ketika
shalat, maka mereka mengkompromikan dalil-dalil tersebut sehingga menghasilkan
kesimpulan bahwa sekedar bersentuhan yang tidak menimbulkan syahwat tidaklah
membatalkan wudhu’
3. Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa seorang laki-laki yang menyentuh kulit isterinya atau wanita lainnya yang bukan mahram dapat membatalkan wudhu', walau pun menyentuhnya tanpa diiring dengan syahwat dengan syarat tidak terdapat penghalang antar kulit tersebut. Hal di atas dikecualikan dari menyentuh rambut, kuku, gigi, atau menyentuh anak kecil yang belum menimbulkan syahwat.
Mereka menafsirkan lafadz لَامَسْتُمُ
النِّسَاءَ dalam surat al-Nisa’ ayat
43 dan Al-Maidah ayat 6 adalah bertemunya kulit dengan kulit walau pun tidak
terjadi jima’. Penjelasan di atas diambil dari penjabaran berikut :
a. Bahwa Allah SWT menyebutkan kata “janabah” di awal ayat ini kemudian mengikutinya dengan menyentuh wanita, maka ini menunjukan bahwa menyentuh wanita sebagai hadats kecil seperti buang air besar, dan itu semua bukan “janabah”, maka maksud لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ di sini adalah menyentuh kulit walau pun tidak terjadi jima’.
b. Dilihat dari sisi bahasa Arab kata laa-masa maknanya lamisa sebagaimana dalam qira’ah lainnya, dan semuanya bermakna bertemunya kulit dengan kulit.
c. Abdullah bin Umar RA berkata: “Seorang
laki-laki mencium isterinya dan menyentuhnya dengan tangannya termasuk
mulaa-masah (menyentuh), dan barang siapa yang mencium ietrinya atau menyentuh
dengan tangannya maka wajib baginya berwudhu;”.
4. Mazhab Hanbali dalam riwayat yang masyhur
sependapat dengan mazhab maliki dalam hal persentuhan yang disertai dengan
syahwat lah yang membatalkan wudhu’. Tetapi mereka mengecualikan persentuhan
kulit yang tidak langsung (ada alas yang membatasinya), persentuhan dengan
kuku, rambut, dan gigi, dan persentuhan sesama laki-laki atau sesama perempuan.
Sumber Perbedaan Pendapat Ulama 4 Madzhab tentang Persentuhan Kulit
Dilansir dari NU Online dengan judul Beda
Pendapat Ulama Tentang Persentuhan Kulit Laki-Laki dan Perempuan dibeberkan
sebagai berikut :
Di antara permasalahan yang sering
diperdebatkan di kalangan masyarakat adalah hukum persentuhan kulit laki-laki
dan perempuan, apakah membatalkan wudhu atau tidak? Perlu diketahui, jika
persentuhan dimaksud terjadi antara dua orang yang memiliki hubungan mahram
maka ulama sepakat bahwa persentuhan tersebut tidak membatalkan wudhu.
Sebagaimana mereka sepakat bahwa persentuhan kulit jika terjadi secara tidak
langsung (ada penghalang/ha’il), tidak membatalkan wudhu, baik keduanya
memiliki hubungan mahram atau tidak.
Para ulama berbeda pendapat jika yang
bersentuhan adalah laki-laki dan perempuan yang tidak terikat hubungan mahram,
dan bersentuhan dimaksud terjadi secara langsung, tanpa penghalang. Perbedaan
ini, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz
1 halaman 29, berawal dari perbedaan dalam memahami makna “al-lamsu” dalam
ayat:
أَوْ لَامَسْتُمُ
النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
Artinya : “Atau
kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan debu yang suci.” (An Nisa: 43).
Dalam bahasa Arab, kata “al-lamsu” merupakan
lafadh yang musytarak, yaitu lafadh yang dibentuk dengan memiliki makna yang bermacam-macam.
Al-lamsu dapat diartikan menyentuh, dan dapat diartikan berhubungan badan.
Sahabat Ali, Ibnu Abbas, dan Hasan memilih makna pertama, sementara Ibnu
Mas’ud, Ibnu Umar, dan Sya’bi memilih makna kedua.
Ulama yang mengartikan al-lamsu dengan “menyentuh”,
menyatakan bahwa persentuhan kulit lawan jenis membatalkan wudhu, sedangkan
ulama yang mengartikannya dengan “berhubungan badan”, menyatakan bahwa
persentuhan saja tidak membatalkan wudhu, sebab yang membatalkan adalah
berhubungan badan. Perbedaan pemahaman ini menimbulkan perbedaan pendapat imam
mazhab dan pengikutnya dalam menghukumi persentuhan kulit laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram, termasuk istri.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya
menyebutkan bahwa persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan
wudhu secara mutlak, baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpedoman pada
hadits riwayat Aisyah radliyallahu anha:
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ
خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mencium beberapa istrinya lalu keluar untuk shalat, tanpa berwudhu.”
(HR. Turmudzi).
Mereka juga berpegangan pada hadits Aisyah
yang lain:
عَنْ
عَائِشَةَ، قَالَتْ: فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ، فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ
قَدَمَيْهِ، وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ.
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Pada suatu malam,
aku kehilangan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dari kasurku. Maka aku
pun mencarinya, lalu tanganku mendapati bagian telapak kakinya yang sedang
berada di dalam masjid, dan kedua telapak kaki beliau dalam posisi tegak lurus
(dalam posisi sujud).” (HR. Muslim, No. 489).
Kedua hadits di atas secara jelas menyatakan
ketidakbatalan persentuhan kulit laki-laki dan perempuan, sebab pada hadits
pertama, Nabi mencium beberapa istrinya kemudian shalat tanpa berwudhu lagi.
Sedangkan pada hadits kedua, Aisyah menyentuh telapak kaki Nabi, tetapi beliau
melanjutkan shalatnya. Jika persentuhan kulit laki-laki dan perempuan
membatalkan wudhu maka Nabi akan membatalkan shalatnya lalu mengulangi
wudhunya.
Di lain sisi, Imam Syafi’i dan para
pengikutnya menegaskan bahwa persentuhan kulit tersebut dapat membatalkan
wudhu, baik dengan syahwat atau tidak. Mereka berpedoman pada makna dhahir
Surat an-Nisa ayat 43 di atas, yaitu firman Allah subhanahu wata’ala:
أَوْ
لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Atau kamu telah menyentuh perempuan.”
Mereka mengatakan, makna hakiki dari kata
“al-lamsu” adalah menyentuh dengan tangan, sedangkan makna majazinya adalah
berhubungan badan. Selama perkataan bisa diartikan dengan makna hakiki, maka
tidak boleh diartikan dengan makna majazi, kecuali jika tidak mungkin
menggunakan makna hakiki, sebagaimana kaidah:
الأَصْلُ فِي
الكَلَامِ الحَقِيْقَةُ
“Pada dasarnya, ucapan itu bermakna hakiki.”
Kelompok ini memperkuat argumentasinya dengan
qira’at versi lain terhadap Surat an-Nisa ayat 43 tersebut, yaitu qira’at yang
menghilangkan huruf alif sehingga menjadi:
أَوْ لَمَسْتُمُ
النِّسَاءَ
Berdasarkan qira’at kedua ini, kata al-lamsu
lebih tepat diartikan menyentuh daripada berhubungan badan. Sehingga menurut
kelompok ini, persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan membatalkan wudhu.
Berbeda dari kedua pendapat di atas, Imam
Malik dan para pengikutnya memberikan rincian; jika persentuhan itu diikuti
dengan syahwat maka membatalkan wudhu, tetapi jika tanpa syahwat, tidak
membatalkan. Mereka mencoba menggabungkan
dan mencari titik temu antara hadits-hadits yang dijadikan sandaran oleh
kelompok pertama, dan ayat Al-Qur’an yang dijadikan landasan oleh kelompok
kedua. Kemudian mereka menyimpulkan bahwa persentuhan kulit yang disertai
syahwat dapat membatalkan wudhu, berdasarkan ayat tersebut, dan tidak
membatalkan wudhu jika tidak disertai syahwat, berdasarkan hadits-hadits
dimaksud. (Lihat: Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam
min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 487-488).
Demikian pendapat para ulama tentang hukum
persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Setelah mencermatinya, dapat
disimpulkan bahwa semua pendapat memiliki argumentasinya masing-masing. Hanya
saja, untuk kehati-hatian dalam masalah ibadah, pendapat Imam Syafi’i dan para
pengikutnya yang menyatakan batalnya wudhu karena persentuhan kulit laki-laki
dan perempuan, layak untuk dipegang. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa
perbedaan semacam ini merupakan bukti kekayaan khazanah keilmuan umat Islam,
dan bukan merupakan ajang perselisihan dan perpecahan. Karenanya, prinsip
saling tolong-menolong dalam mengamalkan hal-hal yang disepakati, dan saling
toleransi dalam menjalankan hal-hal yang diperselisihkan, patut dikedepankan.
Persentuhan Kulit Dalam Penjelasan Kitab Kuning
( وَلَا يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ الْقُبْلَةِ ، وَمَسُّ الْمَرْأَةِ
بِشَهْوَةٍ ، أَوْ غَيْرِ شَهْوَةٍ ) ، وَهُوَ قَوْلُ عَلِيٍّ وَابْنِ عَبَّاسٍ
رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ ، وَقَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ
تَعَالَى يَجِبُ الْوُضُوءُ مِنْ ذَلِكَ ، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ وَابْنِ مَسْعُودٍ
رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا ، وَهُوَ اخْتِلَافٌ مُعْتَبَرٌ فِي الصَّدْرِ
الْأَوَّلِ حَتَّى قِيلَ يَنْبَغِي لِمَنْ يَؤُمُّ النَّاسَ أَنْ يَحْتَاطَ فِيهِ
، وَقَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ إنْ كَانَ عَنْ شَهْوَةٍ يَجِبُ ، وَإِلَّا
فَلَا
Artinya, “Tidaklah wajib berwudhu karena mencium istri atau menyentuhnya baik dengan syahwat atau tidak misalnya. Ini adalah pendapat Sayyidina Ali Ra dan Ibnu Abbas Ra. Menurut Imam Syafi’i, wajib wudhu. Ini adalah pendapat Sayyidina Umar Ra dan Ibnu Mas’ud. Persoalan ini dasarnya adalah persoalan yang diperselisihkan pada masa awal sehingga dikatakan sebaiknya bagi orang yang menjadi imam bagi orang lain untuk berhati-hati dalam masalah ini. Sedang menurut Imam Malik, wajib wudhu jika diiringi syahwat, lain halnya jika tanpa syahwat,” (Lihat Syamsuddin As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1421 H/2000 M, juz I, halaman 121).
اخْتَلَفَ
الْفُقَهَاءُ فِي الْقَدْرِ الْوَاجِبِ فِي مَسْحِ الرَّأْسِ ، فَذَهَبَ
الْأَحْنَافُ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ مَسْحُ مِقْدَارِ النَّاصِيَةِ ، وَهُوَ رُبُعُ
الرَّأْسِ . وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ
مَسْحُ جَمِيعِ الرَّأْسِ . وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يَكْفِي مَا
يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ الْمَسْحِ مِنَ الرَّأْسِ ، وَإِنْ قَلَّ
Artinya, “Para fuqaha berbeda pendapat tentang ukuran yang wajib dalam mengusap kepala. Madzhab Hanafi menyatakan bahwa yang wajib adalah mengusap seukuran jambul yaitu seperempat kepala. Madzhab Maliki dan Hanbali menyatakan, seluruh kepala. Sedang Madzhab Syafi’i memandang bahwa membasuh kepala adalah cukup dengan sesuatu yang dianggap membasuh meskipun sedikit,” (Lihat al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait, Darus Salasil, juz VIII, halaman 125).
وَكَذَلِكَ إِذَا
تَوَضَّأَ َوَمَسَّ بِلَا شَهْوَةٍ تَقْلِيدًا لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَلَمْ
يُدَلِّكْ تَقْلِيدًا لِلشَّافِعِيِّ ثُمَّ صَلَّى فَصَلَاُتهُ بَاطِلَةٌ
لِإتِّفَاقِ الْإِمَامَيْنِ عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ بِخِلَافِ مَا إِذَا
كَانَ التَّرْكِيبُ مِنْ قَضِيَّتَيْنِ فَالَّذِي يَظْهَرُ أَنَّ ذَلِكَ غُيْرُ
قَادِحٍ فِي التَّقْلِيدِ كَمَا إِذَا تَوَضَّأَ وَمَسَحَ بَعْضَ رَأْسِهِ ثُمَّ
صَلَّى إِلَى الْجِهَةِ تَقْلِيدًا لِأَبِي حَنِيفَةَ فَالَّذِي يَظْهَرُ صِحَّةُ
صَلَاتِهِ لِأَنَّ الْإِمَامَيْنِ لَمْ يَتَّفِقَا عَلَى بُطْلَانِ طَهَارَتِهِ
Artinya, “Begitu juga apabila seseorang berwudhu dan menyentuh seorang perempuan tanpa syahwat karena bertaklid kepada Imam Malik (tetapi) ia juga tidak menggosok dengan tangan karena bertaklid kepada Imam Syafi’i kemudian ia shalat, maka shalatnya batal kerena kedua imam (Imam Malik dan Imam Syafi’i) sepakat batal kesuciannya. Berbeda apabila formula yang lahir dari penggabungan dua pendapat (talfiq) dari dua kasus hukum (qadliyyah) yang berbeda, maka hal itu bukan sesuatu yang tercela dalam taqlid sebagaimana seseorang yang berwudhu dan membasuh sebagian kepalanya (kurang dari seperempat kepala) kemudian melakukan shalat menghadap arah Ka’bah (bukan menghadap ke fisik Ka’bah sebagaimana pandangan Madzhab Syafi’i, pent) karena bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah, maka dalam hal ini shalatnya adalah sah karena kedua imam tersebut tidak sepakat batal kesuciannya,” (Lihat Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, Indonesia, Darul Kutub al-Islamiyyah, halaman 284).
Posting Komentar untuk "Sumber Perbedaan Pendapat Batal Wudhu Sebab Bersentuhan Kulit"