Khadijah binti Khuwailid, Istri Pertama Rasulullah ﷺ
Khadijah Binti Khuwailid, Istri Pertama Rasulullah ﷺ

Khadijah istri pertama Rasulullah mempunyai nama lengkap
Khadijah binti Khuwailid bin As’ad bin Abd Al Uzza’. Ia lahir di Makkah 68
tahun sebelum hijrah dan 15 tahun sebelu peristiwa tahun fill yang merupakan
tahun kelahiran Rasulullah SAW. Khadijah al Kubro merupakan anak perempuan dari
Khuwailid bin Asad dan Fatimah binti Zaidah, berasal dari kabilah Bani Asad
dari suku Quraisy. Ia juga merupakan wanita yang sangat sukses dalam
perniagaan, seorang saudagar wanita kaya raya lagi terhormat. Pada masa jahiliyah
ia dipanggil Ath Thaharoh (wanita suci) karena ia senantiasa menjaga kehormatan
dan kesucian dirinya. Orang-orang Quraisy menyebutnya sebagai pemimpin wanita
Quraisy.
Ayah Khadijah bernama Khuwailid bin Asad, seorang tokoh
pembesar Quraisy yang terkenal banyak harta dan senang berderma. Ayah Khadijah
al Kubra ini sangat mencintai semua anggota keluarga dan kaumnya, juga
menghormati tamu dan suka memberdayakan serta membantu kaum miskin dan kaum
papa. Ia termasuk sahabat Abdul Mutahalib, datuk Nabi Muhammad SAW. Ayahanda
Khadijah meninggal 10 tahun setelah kewafatan istrinya.
Ibunda Khadijah bernama Fatimah binti Zaidah. Silsilah nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Amir bin Lu’ai. Neneknya adalah Halah Binti Abdul Manaf yang tersambung sampai Lu’ai bin Ghalib. Ibunda Khadijah meninggal pada tahun 575 Masehi. Khadijah dan saudara-saudaranya setelah wafatnya kedua orang tua mewarisi warisan kekayaan yang luar biasa.
Pernikahan Khadijah Sebelum Dengan Rasulullah SAW
Pada mulanya, Khadijah menikah pertama kali dengan Abu
Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pernikahan ini membuahkan dua orang anak yang
bernama Halah dan Hindun. Lalu kemudian suamianya meninggal dunia.
Pasca wafatnya suami pertamanya, Siti Khadijah menikah lagi untuk yang kedua kali dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi. Dan setelah pernikahan itu berjalan beberapa waktu, akhirnya suami keduanya pun meninggal dunia. Dengan demikian, saat itu Siti Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy.
Nabi Muhammad SAW Berdagang Ke Syam
Perjalanan Nabi Muhammad ke Syam pertama kali saat beliau
berumur belasan tahun bersama Abu Tholib pamannya. Saat itu Rahib Bukhairo
menjelaskan kepada keduanya tentang ciri-ciri kenabian yang melekat pada Nabi
Muhammad SAW.
Disaat Nabi beranjak remaja, tersebutlah Khadijah sebaga
seorang wanita saudagar yang kaya-raya dan hendak mengirim kafilah dagangnya ke
Syam. Saudagar perempuan ini membutuhkan seseorang yang dapat dipercaya untuk
membawa, membimbing dan mengawasi rombongan dagang ke Syam tersebut.
Kabar tentang seorang pemuda bernama Muhammad yang
terkenal akan kejujurannya tersiar hingga telinga Khadijah. Keluhuran budi
pekerti dan kepribadiannya yang terpelihara dengan baik disaat kebanyakan
pemuda waktu itu senang berfoya-foya.
Khadijah sebagai seseorang yang mengetahui seluk-beluk
perdagangan, meyakini bahwa kejujuran merupakan modal penting dalam
perdagangan. Kemudian ia meminta pelayannya untuk memanggil Muhammad supaya
dapat menggali lebih jauh pemahaman dagang pemuda jujur itu. Khadijah memberikan
beberapa pertanyaan kepada Muhammad dalam perbincangan yang serius.
Akhirnya, dari sikap Muhammad yang tenang dalam menjawab
pertanyaan serta bersahaja, Khadijah memantapkan pilihannya kepada Muhammad
untuk membawa barang dangannya menuju Syam.
Tibalah waktunya rombongan kafilah dagang ini berangkat
menuju Syam. Muhammad bersama Maysarah yang merupakan salah seorang utusan
Khadijah untuk membantu Muhammad berangkat menuju Syam.
Setelah urusan perdagangan di Syam berjalan sangat
lancar. Muhammad mendapatkan keuntungan dagang yang sangat besar. Seluruh
barang dagangannya habis terjual. Sebelum pulang, kafilah dagang ini membeli
barang-barang lain untuk dijual kembali di Mekah.
Kepulangan mereka disambut antusias penduduk Mekah. Barang yang mereka bawa dari Syam pun berhasil dijual hingga habis di Mekah. Keuntungan makin berlipat ganda. Tentu saja hal ini membuat gembira Khadijah yang memilih Muhammad karena reputasi kejujurannya.
Khadijah Menikah Dengan Rasulullah SAW
Ketika Nabi Muhammad SAW kembali ke Mekkah dari Syam,
Khadijah melihat Nabi Muhammad SAW sangat amanah dalam mengelola dagangannya
dan ia juga melihat keberkahan besar dalam daganganya yang belum pernah ia
lihat sebelumnya. Selain itu, Maysara yang menemani perjalanan dagang ke Syam juga
menceritakan mengenai pembawaan Nabi Muhammad SAW yang lembut, sifat yang
mulia, ketajaman berpikir, kejujuran, serta amanah.
Khadijah seakan menemukan sosok pria yang didambakan selama ini. Padahal sebelumnya banyak sekali tokoh dan pembesar Quraisy yang berusaha untuk melamar dan menikahinya, namun Khadijah menolak semuanya. Selanjutnya, Khadijah pun mencurahkan perasaannya tersebut kepada sahabatnya yang bernama Nafisah binti Muniyyah, dan Nafisah pun segera pergi kepada Nabi Muhammad SAW untuk membeberkan niatan Khadijah tersebut dan menganjurkan Rasulullah untuk menikahinya. Nabi Muhammad SAW pun setuju dan membicarakan hal ini dengan pamannya. Kemudian Rasulullah SAW pun mendatangi paman Khadijah dan melamar Khadijah. Tidak lama setelah itu, pernikahan pun dilangsungkan. Akad pernikahan ini dihadiri oleh para keluarga dari kalangan Bani Hasyim dan para pembesar kabilah Mudhar. Dalam pernikahan ini, Rasulullah memberikan mahar berupa 20 ekor unta muda. Pernikahan ini terjadi setelah dua bulan Rasulullah kembali dari Syam.
Anak Rasulullah SAW Bersama Khadijah
Setelah pernikahan Rasulullah SAW dengan Khadijah, keduanya dikurniakan 6 orang anak. Khadijah melahirkan 2 orang putra dan 4 orang putri. Anak pertama sekaligus putra pertama Rasulullah bernama Qasim. Putra kedua beliau bernama Abdullah, biasa dipanggil ath-thahir dan ath-thayyib karena dilahirkan setelah kedatangan Islam. Kedua putra ini meninggal dunia ketika masih bayi. Anak ke-3 bernama Zainab, putri sulung yang lahir sebelum Nabi Muhammad SAW diutus Allah sebagai rasul. Anak ke-4 dan ke-5 adalah Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Anak yang ke-6 adalah Fatimah Az-Zahra. Menikah dengan seorang sahabat yang terkenal dan disegani yaitu Ali bin Abi Thalib. Ia adalah ibunda Hassan dan Husein.
Wafatnya Khadijah Istri Rasulullah SAW
Dilansir dari NU Online. Peristiwa pemboikotan ekonomi
dan sosial oleh kaum kafir Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW dan keluarganya
sedikit banyak telah menyita kesehatan Khadijah istri Rasulullah SAW. Bagaimana
tidak, dalam waktu tiga tahun, Khadijah, Nabi Muhammad, serta keluarganya
kekurangan suplay makanan dan minuman, juga dibatasi gerak-geriknya,
dikucilkan, dan dilarang melakukan transaksi. Selain itu, usia Khadijah yang
sudah tidak muda lagi pada saat itu juga mempengaruhi kesehatannya. Kondisi
kesehatan Sayyidah Khadijah semakin menurun setelah kejadian itu. Badannya
semakin lemas karena menahan sakit yang menghinggapi tubuhnya. Meski demikian,
tidak ada riwayat yang menyebutkan penyakit apa yang mengakibatkan Sayyidah
Khadijah Wafat.
Ketika ajal Sayyidah Khadijah sudah dekat, orang-orang
terdekat, keluarga, dan kerabatnya hadir untuk meringankan pertemuannya dengan
Allah. Hingga akhirnya, Sayyidah Khadijah mengembuskan nafas terakhirnya di
hadapan Nabi Muhammad pada hari kesepuluh bulan Ramadhan tahun kesepuluh
kenabian. Saat itu, Sayyidah Khadijah berusia 65 tahun, sementara Nabi Muhammad
50 tahun. Sama seperti manusia pada umumnya, Nabi Muhammad tidak kuasa
membendung air matanya untuk tidak keluar ketika orang terkasihnya pergi.
Terlebih ketika itu Nabi Muhammad sangat membutuhkan kehadiran Sayyidah
Khadijah yang menjadi penyeimbang, penyemangat, dan pendukung setia Nabi dalam
mendakwahkan Islam, di tengah penolakan dan penganiayaan yang dilakukan kaum
kafir Quraisy terhadap beliau dan umatnya.
Kabar wafatnya Sayyidah Khadijah langsung tersebar ke
seluruh penjuru Kota Makkah. Orang-orang bersedih atas kabar tersebut,
mengingat perangai dan akhlak Sayyidah Khadijah yang baik, cerdas, lembut, suka
membantu, dan tidak pernah menyakiti orang. Penduduk Makkah dan kabilah sekitar
kota berbondong-bondong datang ke rumah duka untuk memberikan penghormatan
terakhir kepada Sayyidah Khadijah.
Nabi Muhammad sendiri yang turun ke liang lahat kuburan
Sayyidah Aisyah. Sambil malafalkan doa-doa, beliau sendiri juga yang meletakkan
jenazah sang belahan jiwa di tempat persinggahan terakhirnya itu. Tampak jelas
kesedihan di wajah Nabi Muhammad karena ditinggal istri tercintanya.
Wafatnya Sayyidah Khadijah tersebut menambah kesedihan
Nabi Muhammad karena tiga har, riwayat lain dua atau tiga bulan, sebelumnya Abu
Thalib, paman yang menjadi pelindung Nabi mendakwahkan Islam juga meninggal.
Maka kemudian tahun wafatnya Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah (tahun kesepuluh
nubuwah) tersebut dikenang sebagai Tahun Kesedihan (‘Am al-Huzni).
Seperti dijelaskan M Quraish Shihab dalam Membaca Sirah
Nabi Muhammad Saw(2018), kesedihan di sini maksudnya bukan berarti Nabi
Muhammad berduka selama satu tahun atas wafatnya Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah.
Namun, mangkatnya dua tokoh pendukung mengakibatkan semakin besar kemungkinan
tertutupnya banyak peluang dakwah Islam bagi umat manusia. Padahal sebelumnya
beliau melihat ada secercah harapan tersebarnya dakwah Islam karena dukungan
dan pertolongan dua orang tersebut.
Merujuk Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018),
rumah Nabi Muhammad menjadi sunyi setelah kepergian Sayyidah Khadijah. Tidak
ada lagi keceriaan di sana karena suasana rumah berubah menjadi duka cita.
Bahkan setelah wafatnya Sayyidah Khadijah, Nabi Muhammad tidak berkeluarga
dalam waktu cukup lama. Beliau tidak langsung menikah karena yakin tidak ada
perempuan yang setara dengan Sayyidah Khadijah.
Keadaan Nabi yang hidup sendiri membuat saudara Sayyidah Khadijah,
Khaulah, prihatin.
Khaulah kemudian menyarankan kepada Nabi Muhammad agar
menikah lagi sehingga ada yang merawat, menghibur, dan menjadi teman hidupnya.
Khaulah kemudian menyebutkan dua nama; Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu
Bakar. Nabi Muhammad setuju dengan usulan itu dan kemudian menikahi Sayyidah
Saudah dan kemudian Sayyidah Aisyah.
Meski Nabi Muhammad sudah menikah dengan perempuan lain, namun posisi Sayyidah Khadijah di benak Nabi tidak tergantikan. Beliau mengenang dan menghormati segala hal yang berkaitan dengan Sayyidah Khadijah—walau sang belahan hati sudah lama meninggalkannya. Mulai dari barang-barang, perhiasan, kerabat, sahabat, dan orang-orang yang pernah berinteraksi dengan Sayyidah Khadijah.
Masya Allah
BalasHapus